KONTROVERSI DIBALIK PENGESAHAN RUU BADAN HUKUM PENDIDIKAN

Thursday, December 31, 2009 Posted by Rino Safrizal
1. LATAR BELAKANG
Dalam merespon berbagai hambatan dan tantangan yang muncul bersamaan dengan revolusi teknologi komunikasi serta globalisasi yang sedang melanda berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia, sebagai bangsa kita telah menghasilkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. UU tersebut merupakan perubahan paradigma bidang pendidikan, paling tidak dalam 3 bidang: Pertama, bahwa sistem pendidikan nasional adalah merupakan pengejahwantahan dari tugas konstitusional pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi berbagai tantangan selaras dengan tuntutan perubahan kehidupan masyarakat lokal, nasional dan global. Ketiga, bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pergeseran paradigma, atau kalau mau menggunakan bahasa Thomas Kuhn paradigm shift, system pendidikan nasional ini memang sangat diperlukan karena selama dua dekade kita terus menerus menyaksikan system pendidikan nasional kita semakin tertinggal dari negara lain. Penyebab ketertinggalan tersebut berbeda pada jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar, kita relative unggul dari segi tingkat partisipasi tetapi jauh tertinggal pada kualitas.
Rendahnya komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pendidikan membawa konsekuensi yang amat tragis, seperti ditunjukkan oleh survey yang diadakan oleh majalah Newsweek edisi Asia tahun 2004. Tidak ada satupun perguruan tinggi Indonesia berhasil masuk sebagai 200 top Asian universities atau 500 top world universities. Kegagalan perguruan tinggi nasional tersebut terjadi karena PT Indonesia belum memiliki kualitas dosen yang memenuhi standar Asia (minimal 70 persen dosen bergelar doktor), publikasi ilmiah rendah (.001 Scientific Citation Index per dosen per tahun), alokasi anggaran untuk perpustakaan tidak mencapai 5 persen anggaran belanja PT, alokasi anggaran untuk penelitian rendah, dan ketersediaan akses ke jaringan internet global belum memenuhi standar Asia sebesar 1 Kbps per mahasiswa.
Lembaga pendidikan nasional belum mampu mencapai standar minimal Asia karena tidak mendapat dukungan dana yang memadai dari Pemerintah. Di berbagai PTN, rata-rata biaya pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah hanya sekitar Rp. 4,2 juta per mahasiswa per tahun. Biaya satuan pendidikan tinggi yang disediakan Pemerintah Indonesia ternyata lebih rendah dari biaya per mahasiswa yang disediakan Pemerintah Mesir sebesar Pound Mesir 6.000 atau sekitar 10,8 juta. Padahal biaya yang diperlukan untuk mencapai standar mutu nasional adalah Rp. 18,1 juta per mahasiswa per tahun. Untuk mencapai standar mutu Asia diperlukan biaya rata-rata sekitar Rp. 77 juta per mahasiswa per tahun.Guna mempercepat perluasan akses pendidikan tinggi dan peningkatan mutu sebagaimana diamanatkan oleh UU No 20 tahun 2003, Pemerintah memberikan otonomi yang lebih luas kepada perguruan tinggi, dimulai dengan 6 PTN yaitu – UI, IPB, ITB, UGM, USU dan UPI -- untuk memperlebar pintu partisipasi masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembiayaan di perguruan tinggi tersebut. Selanjutnya pengembangan otonomi PT akan dilakukan secara bertahap dan selektif. Bertahap karena pemberian otonomi kepada PT akan dilakukan tidak secara serentak, Selektif karena penetapan sebagai PT otonomi hanya diberikan atas dasar penilaian terhadap kemampuan masing-masing PT untuk melaksanakan otonomi.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.
Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Walhasil, institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen
Namun pelaksanaan otonomi PT ternyata tidak berjalan mulus karena menghadapi kendala legal maupun sosial-politis yang cukup besar yang perlu dicarikan solusinya. Kendala legal yang paling utama adalah karena belum adanya bentuk badan hukum yang mantap untuk penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan. Juga terdapat kendala sosial politis yang cukup besar karena masyarakat pada umumnya beranggapan penetapan perguruan tinggi sebagai badan hukum, walaupun milik negara, adalah sama dengan komersialisasi pendidikan. Pandangan tersebut sedemikian menyebar pada berbagai komponen masyarakat, mulai dari masyarakat lapisan bawah sampai ke lapisan elit.
Melihat kenyataan di atas, pemerintah merasa perlu untuk melakukan suatu terobosan baru dalam dunia pendidikan. Hasilnya lahirlah UU BHP yang disahkan Desember 2008 lalu.
BHP adalah badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang mempunyai fungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana untuk memajukan satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum diperuntukkan bagi pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Yang menjadi pertanyaan di sini adalah Bagaimana respon masyarakat Indonesia (dalam hal ini semua pelaku pendidikan; pelajar, mahasiswa, tenaga pengajar, dan orang tua serta pemerhati pendidikan) mengenai UU BHP ini, karena jauh hari sebelum disahkan, telah terjadi pro dan kontra di mana-mana? Dalam makalah ini penulis akan berusaha mengupas hal yang berkenaan dengan BHP dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

2. TUJUAN
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat Indonesia sebagai pelaku pendidikan dalam menyikapi UU BHP.

3. ISI
Beberapa minggu terakhir ini, kampus kembali menggeliat. Para insan kampus yang tergabung dalam berbagai komunitas mahasiswa berbondong-bondong keluar kampus mengeluarkan aspirasinya. Mereka tegas-tegas menolak pengesahan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi UU BHP. Mereka menilai, UU BHP memberikan peluang kepada pemerintah untuk meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab dalam UU itu diatur peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh suatu institusi pendidikan. Mereka khawatir, universitas favorit yang berberbiaya operasional tinggi akan menjadi dominasi anak orang kaya.
Penolakan agaknya tak hanya datang dari insan kampus. Majelis Luhur Taman Siswa (MLTS), misalnya, menolak pengesahan RUU BHP ini karena di dalamnya sama sekali tidak menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar. Selain itu penetrasi asing secara sistematis nampak dalam RUU BHP tersebut. Buktinya, dengan diratifikasinya WTO/GATS melalui UU No 7 Tahun 1994 yaitu memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas perdagangan yang bebas sesuai dengan hukum pasar bebas.
Apa sebenarnya BHP itu sendiri?
BHP adalah badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang mempunyai fungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana untuk memajukan satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum diperuntukkan bagi pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Pada Pasal 2 RUU BHP dikatakan bahwa fungsi BHP adalah memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik sedangkan tujuan BHP itu sendiri seperti tertuang dalam Pasal 3 RUU BHP yaitu memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi.
Yang dimaksud dengan prinsip nirlaba seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 RUU BHP adalah bahwa dalam pengelolaan dana secara mandiri yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP, maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. [Pengelolaan dana secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari keuntungan sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.]
Pernyataan bahwa pembentukan Undang-Undang BHP merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum” memang sangat beralasan. Meski demikian, klausul ini jangan sampai menimbulkan penafsiran bias hingga akhirnya menyingkirkan anak-anak dari kalangan tak mampu untuk bisa ikut menikmati bangku pendidikan.
Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan bisa muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari lembaga pendidikan negeri. Dari pengalaman empat perguruan tinggi negeri, UI, ITB, IPB, dan UGM, sewaktu menjadi badan hukum milik negara (BHMN) alasan muncul dari lembaga pendidikan tersebut. Kemandirian dibutuhkan oleh keempat perguruan tinggi negeri tersebut karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing. Akibatnya, sulit diharapkan keempat perguruan tinggi itu untuk bersaing dengan perguruan tinggi swasta, apalagi harus bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri. Birokrasi ala pemerintah membuat para pejabat yang mengelola universitas harus memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki eselonisasi tertentu layaknya instansi pemerintah. Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku di instansi pemerintah. Bahkan pengisian jabatan kerap dijadikan ajang politik ketimbang amanah untuk mengedepankan suasana akademis. Dari sini terlihat bahwa tujuan mem-BHMN-kan keempat perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan. Bila saat ini di antara empat universitas BHMN terkesan melakukan komersialisasi hal ini terpulang pada kebijakan dari pimpinannya yang harus bergelut dengan minimnya subsidi dari pemerintah. Harus diakui bahwa pendidikan yang prima membutuhkan banyak dana. Menaikkan biaya operasional mahasiswa merupakan kebijakan yang paling mudah meskipun tidak semua universitas melakukannya. Bila kebijakan tersebut yang diambil, maka pimpinan universitas tidak berbeda dengan kepala daerah yang mengenakan retribusi dan pajak daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.

Beberepa pandangan mahasiswa tentang RUU BHP dapat dilihat seperti yang dirangkum di bawah ini:
a. Pro BHP:
1. Mahasiswa miskin mendapat akses lebih banyak ke PTN karena UU BHP mewajibkan PTN untuk memberikan beasiswa kepada 20 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswa. Hal ini tercantum dalam pasal 38 ayat 1 RUU BHP
2. UU BHP memaksa perguruan tinggi untuk menerima mahasiswa melebihi kapasitasnya, baik kapasitas tenaga pengajar maupun fasilitas.
3. Posisi tertinggi dalam struktur perguruan tinggi tidak lagi berada pada pemerintah, rektor ataupun yayasan namun pada majelis wali amanah yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan seperti pemilik, akademisi dan masyarakat sehingga tidak ada lagi kesewenang-wenangan oleh pemilik ketika mengambil keputusan strategis dan operasional.
4. Laporan keuangan perguruan tinggi dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat setelah diaudit oleh kantor akuntan publik sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pengawasan.

b. Kontra BHP:
1. UU BHP menganggap pendidikan adalah produk bisnis dan berpotensi besar menimbulkan konflik karena substansi pendidikannya sangat minim dan cenderung melihat pendidikan sebagai sebuah corporate.
2. Pendukung UU BHP teriming-iming angin surga bahwa bila UU BHP diberlakukan, gaji mereka akan melonjak naik. Padahal UU BHP adalah contoh lain kegagalan pemerintah dalam menginplementasikan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan bangsa.
3. UU BHP akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh sebagian lapisan masyarakat.
4. UU BHP membuat liberalisasi pendidikan, karena lembaga pendidikan diminta mandiri. Dengan demikian UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 karena di UU BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Sehingga UU BHP membuat mahasiswa menjadi korban dan rakyat miskin tidak bisa mengenyam pendidikan.
Ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional. Alasan kedua dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan. Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola.
Konsep BHP secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang akan menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis akan menjadi “dua sahabat” baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi.
Padahal, secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, berkepribadian handal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Masalah lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi?
Di kebanyakan negara, University Coorperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi akivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata.
Konsekwensinya, uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi harus dipikul mahasiswa. Penerimaan mahasiswa jalur “patas” menjadi pilihan banyak universitas. Fakta menunjukkan, meskipun pemerintah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih mahal. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi sedikit mendapat pemasukan?
Jika kita memakai kacamata mahasiswa, tentu inginnya pendidikan itu murah atau bahkan gratis. Sebaliknya, kini pemerintah hendak berlepas tangan. Inilah yang disinyalir ahli pendidikan H.A.R Tilaar, BHP tak lebih merupakan representasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan
Sejak awal disiapkan, RUU BHP ”yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945.
Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya—bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya—dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.
Kedua: Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (Tempointeraktif.com, 8/1/2007). Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Kenyataan ini antara lain karena negara-negara pemberi utang mendorong negara-negara pengutang seperti Indonesia meminimalkan perannya dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar, seperti pendidikan. Pencabutan pembiayaan di sektor pelayanan publik termasuk pendidikan ini untuk memudahkan negara-negara pengutang membayar utangnya dengan lancar. Pengurangan subsidi ini telah menjadi syarat pemberian utang oleh Bank Dunia dengan skema SAP (Structural Adjustment Project). Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini—yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara—justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola, dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP.
Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).
Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan. Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).
Draft RUU BHP yang telah disahkan agaknya memang mempersempit gerak anak-anak dari kalangan tak mampu untuk mengenyam bangku pendidikan. Dalam pasal 34, misalnya, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan (ayat 3). Sedangkan, peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai (ayat 4). Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada BHPP atau BHPPD sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya operasional.
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.
Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.
Ketika dunia pendidikan sudah dicemari oleh kepentingan-kepentingan komersil, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak dari kalangan keluarga tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang, akhirnya harus tersingkir dari bangku pendidikan yang diincarnya? Bagaimana negeri ini bisa maju kalau generasi-generasi brilian justru harus mengalami proses “cuci otak” lantaran gagal duduk di bangku pendidikan?
Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.
Pengesahan UU BHP, hendaknya harus memperhatikan 4 aspek. Pertama, aspek fungsi negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945). Kedua, aspek filosofis yakni cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan, sebagai implementasi tanggung jawab negara. Keempat, aspek aspirasi masyarakat, yang harus mendapat perhatian agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan di kemudian hari.

4. KESIMPULAN
Pengesahan RUU BHP Desember lalu membagi masyarakat Indonesia ke dalam dua kubu; kubu pro dan kontra. Kubu pro mengganggap kehadiran UU BHP merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP merupakan sebagai bentuk kapitalisme dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan menggambarkan penghindaran tanggung jawab kewajiban pemerintah pada dunia pendidikan.

5. SARAN
Apapun yang terjadi pada sistem pendidikan kita, mau diberlakukan UU BHP ataupun tidak, nantinya bisa memberikan jalan keluar permasalahan pendidikan Indonesia yang makin lama semakin terpuruk menjadi lebih baik dan mendapat tempat dimata dunia dan membangun SDM yang maksimal seperti apa yang diamanatkan dalam UUD 1945.

REFERENSI

http://fkmmj.wordpress.com/2008/06/14/bhp-solusi-masalah-pendidikan-kita/
http://its.kampuskita.net/berita/12
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3445
http://www.detikforum.com
http://www.dikti.org/1262007125956naskah_uji_publik_ruu_bhp-_5_des_2007.pdf
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16284&cl=Berita
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197560/
http://www.ugm.ac.id/downloads/seminarbhp.pdf





Labels:

Post a Comment

FOLLOWER